BIDIKNEWS-INDONESIA | Berita BIDIK, Ketika setiap unsur birokrat, pejabat, pegawai, staf, bersimbiosis membangun jejaring untuk korupsi, yang tercipta adalah semacam jejaring parasit. Jejaring parasit ini sulit ditembus karena di antara mereka dibangun sistem pertahanan diri (self-defence). Pembiaran, penopengan, penghilangan jejak, dan mungkin juga pelupaan (forgetfulness) secara sistemik adalah salah satu bentuk pertahanan itu. Terkait jerat hukum apabila adanya unsur pembiaran oleh seorang atasan terhadap bawahannya yang melakukan korupsi, Tim Liputan Khusus BIDIKNEWS-INDONESIA mencoba menemui Ketua Umum ORMAS BIDIK untuk didengar pendapat dan pencerahannya terkait hal ini.
Ditemui awak media BIDIKNEWS-INDONESIA di kantornya, ADV. ALAMSYAH, S.H., M.SI., C.L.A. Ketua Umum ORMAS BIDIK yang juga berprofesi sebagai Pengacara dan Auditor Hukum yang akrab disapa “Pak Ketum” ini mengemukakan kepada awak media sebagai berikut:
Menurutnya, Ketika seorang penyelenggara negara (dalam hal ini pimpinan instansi pemerintah) membiarkan terjadinya korupsi di instansi yang dipimpinnya, maka dia telah mengesampingkan Asas Umum Pemerintahan Negara Yang Baik, dia telah mengesampingkan penyelenggaraan negara yang bersih yaitu penyelenggara negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya, sebagaimana Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme “Ujar Pak Ketum.
Lebih lanjut Pak Ketum menjelaskan bahwa pimpinan instansi tersebut dapat dianggap telah menyalahgunakan kekuasaan dengan membiarkan dilakukannya korupsi pada instansi yang dipimpinnya dan dapat dijerat dengan Pasal 3 jo Pasal 23 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, “Terang Pak Ketum.
Disamping itu, menurut “Pak Ketum” Pasal 23 tersebut merujuk juga pada Pasal 421 KUHP yang berbunyi:
“Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.”
Namun, pidana terhadap perbuatan tersebut telah diperbarui dengan Undang-Undang Tipikor menjadi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Selain dapat dikenakan dengan ketentuan Pasal tersebut, Pak Ketum juga menambahkan bahwa setiap pimpinan instansi yang mengetahui dan membiarkan korupsi terjadi tapi tidak melaporkannya ke Aparat Penegak Hukum Tindak Pidana Korupsi maka seorang pimpinan instansi juga dapat dikenakan pasal penyertaan tindak pidana sebagaimana Pasal 56 KUHP yang berbunyi :
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
(1) mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
(2) mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau ke- terangan untuk melakukan kejahatan.
Jadi Jika seorang atasan dalam hal ini Pimpinan Instansi melakukan “Pembiaran” terhadap bawahannya dalam melakukan Korupsi dan unsur-unsur pembiaran tersebut terpenuhi maka atasannya pun Juga bisa dipidana, “tutup Pak Ketum. (Lipsus)
BNP.Red-016