BIDIKNEWS-INDONESIA | Artikel Hukum, Penyelesaian perkara tindak pidana ringan (Tipiring) dilakukan dengan acara pemeriksaan cepat. Menurut Pasal 205 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berbunyi : Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam paragraf 2 bagian ini.
Mengacu kepada Peraturan Mahkamah Agung Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batas Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (PERMA 2/2012), menjadi sebagai berikut :
- Denda sebesar Rp. 250 pada Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 482 dibaca menjadi Rp2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah);
- Jumlah maksimum hukuman denda terkecuali pada Pasal 303 Ayat (1) dan (2), 303 bis Ayat (1) dan (2), dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali;
- Apabila nilai barang atau uang pada pelimpahan perkara pencurian, penipuan, penggelapan, penadahan dari penuntut umum tidak lebih dari R. p2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah), Ketua Pengadilan menetapkan perkara tersebut untuk diputus dengan Acara Pemeriksaan Cepat (Pasal 205-210 KUHAP). Jika sebelumnya terdakwa dikenakan penahanan, ketua Pengadilan tidak menetapkan penahanan atau perpanjangan penahanan.
Jadi mengacu kepada Perma No. 2 Tahun 2012 tersebut, terkait Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dilakukan dengan acara pemeriksaan cepat dan untuk penyesuaian dendanya menjadi Rp. 7.500 x 1000 = Rp. 7.500.000,-
Terkait tindak pidana penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 352 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
- Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.
- Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Jenis delik yang berlaku dalam tindak pidana penganiayaan ringan merujuk pada ketentuan BAB XX KUHP tentang Penganiayaan merupakan delik laporan. Tindak pidana penganiayaan (termasuk penganiayaan ringan) merupakan jenis delik yang penuntutannya karena jabatan dan penindaknya adalah petugas kepolisian, artinya Polisi sebagai petugas yang berwenang dapat tetap memeriksa perkara tindak pidana penganiayaan ringan walaupun tanpa adanya aduan korban.
Penanganan tindak pidana ringan pada prinsipnya tetap berdasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun menurut ketua Umum ORMAS BIDIK “ADV. ALAMSYAH, SH., M.SI., C.LA.” Polisi dalam menangani perkara tindak pidana penganiayaan ringan harus mengedepankan konsep Restorative Justice (RJ). Tujuannya adalah semata-mata agar tercapai keadilan dan pemulihan kondisi yang rusak akibat tindak pidana, dengan mengedepankan prinsip-prinsip perdamaian yang melibatkan partisipasi langsung dari pelaku, korban, aparat penegak hukum dan masyarakat, terang Ketua Umum.
Istilah Restorative Justice kurang dikenal dalam lingkup masyarakat, sehingga dalam perkara tindak pidana ringan yang diselesaikan melalui penerapan restorative justice lebih dikenal dengan upaya penyelesaian secara kekeluargaan atau musyawarah. Akibat dari ketidaktahuan masyarakat terhadap upaya restorative justice yang dapat diterapkan dalam sistem hukum pidana, khususnya dalam penyelesaian tindak pidana ringan masih banyak mendapat penolakan, dikarenakan masyarakat hanya mengetahui bahwa seseorang yang melakukan tindak pidana harus dihukum dan hukuman tersebut adalah hukuman penjara.
Penerapan Konsep Restorative Justice (RJ) ini mengutamakan musyawarah dan mufakat, hal ini berdasarkan :
- Surat Kapolri No. Pol.: B/3022/XII/2009/Sde Ops, tanggal 4 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus melalui Alternative Dispute Resolution/ADR;
- Surat Telegram Kabareskrim POLRI kepada Direktur Reskrimum, Direktur Reskrimsus dan Direktur Resnarkoba seluruh POLDA Nomor: ST/110/V/2011, tanggal 18 Mei 2011 tentang Alternatif Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan;
- Surat Telegram Rahasia Kabareskrim POLRI kepada Direktur Reskrimum, Direktur Reskrimsus dan Direktur Resnarkoba seluruh POLDA Nomor: STR/583/VIII/2012, tanggal 18 Agustus 2012 tentang Penerapan Restorative Justice;
- Surat Edaran Kapolri Nomor SE/7/VII/2018, tanggal 27 Juli 2018 tentang Penghentian Penyelidikan.
- Surat Edaran Kapolri Nomor SE/8/VII/2018 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana.
Berdasarkan landasan tersebut, upaya menyelesaikan perkara di luar pengadilan melalui konsep Restorative Justice (RJ) ini harus memenuhi syarat-syarat yaitu :
- Tindak pidana yang diselesaikan adalah tindak pidana yang bersifat ringan atau tindak pidana yang merupakan delik aduan baik bersifat absolut/relatif;
- Ada keinginan dari pihak-pihak yang berperkara (pelaku dan korban) untuk berdamai dan akibat dari permasalahan tersebut tidak menimbulkan dampak yang luas/negatif terhadap kehidupan masyarakat;
- Harus dilaksanakan kegiatan yang bersifat rekonsiliasi dengan mempertemukan pihak yang berperkara serta melibatkan pranata sosial seperti tokoh-tokoh masyarakat setempat;
- Dalam menyelesaikan perkara perlu memperhatikan faktor niat, usia, kondisi sosial ekonomi, tingkat kerugian yang ditimbulkan, hubungan keluarga/kekerabatan serta bukan merupakan perbuatan yang berulang (residivis);
- Apabila perbuatan tersebut diawali dengan perjanjian/perikatan (mengarah ke perdata);
- Pihak korban harus mencabut laporan/pengaduan;
- Apabila terjadi ketidakpuasan para pihak yang berperkara setelah dilakukan di luar mekanisme pengadilan maka dilakukan penyelesaian sesuai prosedur hukum yang berlaku;
- Apabila terjadi pengulangan tindak pidana yang dilakukan, maka harus dilaksanakan proses hukum sesuai peraturan/hukum yang berlaku.
Apabila hal ini disepakati oleh para pihak, maka Penyidik kepolisian membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Tambahan bagi para pihak yang menerangkan bahwa semua pihak mencabut semua keterangannya dan dengan pencabutan semua keterangan tersebut, kemudian Penyidik kepolisian melakukan pemeriksaan secara konfrontasi terhadap semua pihak yang terlibat dalam perkara tersebut, lalu penanganan terhadap perkara dihentikan. Penerapan restorative justice terhadap penyelesaian suatu kasus tindak pidana, khususnya tindak pidana ringan, tentu saja tidak terlepas dari dukungan masyarakat dan pihak-pihak yang terkait dengan tindak
pidana ringan yang terjadi., ‘tutup Ketua Umum.
BNP.Red-010
Semoga Bermanfaat!
BNP.Red-010
Penulis : ADV. ALAMSYAH, SH., M.SI., C.L.A. Advokat - Pengacara - Konsultan Hukum - Auditor Hukum Ketua Umum ORMAS BIDIK